Pages - Menu

Laman

Laman

Tuesday 19 May 2015

MAKALAH ; TAFSIR ASY-SYINQITHY

MAKALAH
Asy-Syinqithi; Karekteristik dan Sistem Pemikiran Tafsirnya
Disusun Sebagai Bahan Diskusi Pada Mata Kuliah
Pemikiran Tafsir Modern
Dosen Pembimbing : Dr. Septiawadi, M.Ag

Penyusun: Wawang Julianto




Asy-Sy
inqithi; Karekteristik dan Sistem Pemikiran Tafsirnya
BAB I
PENDAHULUAN
Kitab Al-Qur'an adalah kitab suci yang layak untuk dikaji sepanjang zaman dan di belahan bumi manapun. Meskipun telah banyak orang-orang yang berupaya menafsirkannya, namun hal itu tidak mencegah siapapun yang hendak menafsirkannya juga.
Penafsiran-penafsiran tersebut akan membantu pembaca Al-Qur'an untuk dapat memahami makna dan kandungan yang tersimpan dalam tiap-tiap ayat bahkan huruf dalam Al-Qur'an itu sendiri.
Meskipun telah banyak kitab tafsir, namun kesemuanya itu belum tentu memudahkan pembacanya untuk bisa memahami maksudnya secara baik, karena tingkat intelektual setiap pembaca pun berbeda-beda.
Berbagai macan cara dan tujuan telah dihadiahkan oleh mereka para mufasir kepada umat ini. Maka kita semestinya berterimakasih kepada mereka yang telah membukakan jalan bagi kita untuk memahami Al-Qur'an yang suci ini.
‘Adhwaul Bayan Fi Idhohil Qur’an Bil Qur’an’ adalah salah satu kitab tafsir yang telah disumbangkan oleh seorang ulama’ di masa modern yang bernama Muhammad Amin Asy-Sinqithi, yang sangat menakjubkan.
Penafsirannya mudah dan kita dapat dengan mudah memahami makna ayat ayat yang ada, bahkan kita tidak usah khawatir apakah tafsiran ini menyimpang atau tidak dari batasan aqidah yang benar? Karena dalam tafsir ini ayat dijelaskan dengan ayat-ayat penjelas yang semisalnya dan kemudian kesimpulan maksud dan maknanya.
Sangat mudah dan sangat ringkas, sehingga pemakalah merekomendasikan kepada kaum muslimin sekalian untuk membaca kitab tafsir ‘Adhwaul Bayan Fi Idhohil Qur’an Bil Qur’an’.
Setiap kitab tafsir atau mufasirnya tentu memiliki karakteristik tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur'an karyanya, dalam kitab asy-syeikh syinqithi mengutamakan tafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Sebagai mana generasi sahabat dalamm menafsirkan Al-Qur'an bertumpu yang pertama dengan Al-Qur'an.[1]
Begitu juga kalangann tabi’in, mufasir dari generasi ini mengutamakan penyandaran tafsir Al-Qur'an dengan isi Al-Qur'an yang menjelaskannya.[2]



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Biografi
Nama beliau adalah Syaikh Al Allamah Muhammad al-Amin lahir di Tanbeh, propinsi Kifa, Syinqith pada tahun 1325 H (1907 M). Syinqith adalah Mauritania saat ini dan menjadi laqab para ulama Mauritania yang dikenal dengan Syanaqithah (ulama-ulama Syinqithi). Ia berasal dari sebuah keluarga pecinta ilmu dan terhitung kaya. Ayahnya meninggal ketika usianya masih belia. Ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an pada pamannya ketika umurnya 10 tahun. Setelah itu, ia belajar tentang rasm mushhaf ‘Utsmani, tajwid dan tilawah. Ia belajar dari istri pamannya pelajaran sastra Arab, baik nahwu, sharf, nasab dan silsilah Arab, sirah, sejarah.  Sedangkan fikih madzhab Maliki, ia belajar ke putra pamannya. Dan semuanya dijalaninya hingga ia berumur 16 tahun.[3] Ia terus mendalami berbagai keilmuan seperti balaghah, tafsir dan hadis ke beberapa ulama yang ada di wilayahnya saat itu. Beliau meninggal pada tahun 1393 H/ 1973 M.[4]
Metode pembelajaran di negaranya itu tergolong bagian dari kehidupan badui mereka yang selalu berpindah-pindah tempat.[5] Dalam kebiasaan mereka juga, mendalami satu bidang keilmuan secara mendalam dengan tidak belajar sesuatu yang lain dulu sehingga ilmu itu tuntas.
Pada sekitar tahun 1367 H/1947 M. Ia  melakukan perjalanan darat menuju Arab Saudi untuk melakukan ibadah haji dengan niat untuk dapat kembali lagi ke negaranya. Akan tetapi, sesampainya di Arab Saudi ia memutuskan untuk menetap di sana. Di antara sebabnya adalah pertemuannya dengan dua orang ulama di Arab Saudi, Abdullah az-Zahim dan Abdul Aziz bin Shalih yang memperkenalkannya pada madzhab Hambali dan manhaj salaf. Ia kemudian melakukan diskusi tentang berbagai persoalan fikih dan akidah yang semakin memantabkannya untuk menetap di Arab Saudi. Dan inilah awal mula ia dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan; fikih, tafsir, hadis, bahasa dan sebagainya yang memberinya kesempatan untuk dipercaya sebagai salah seorang pengajar tafsir di Masjid Nabawi.[6]
     Aktifitas ilmiah Muhammad al-Amin asy-Syinqithi sudah dimulai sejak ia berada di negaranya. Ia adalah salah seorang anggota Lajnah ad-Dima’ di Syinqith, sebuah lembaga yang memberikan keputusan akhir untuk dilaksanakan atau tidaknya eksekusi hukuman mati atau qishash. Ketika ia melakukan perjalanan darat untuk haji, ia singgah di berbagai wilayah untuk memberikan ceramah dan pengajaran. Ada sekitar 16 daerah mulai dari Mauritania hingga Sudan yang ia singgahi untuk memberikan pengajaran.[7]
Saat menjadi pengajar tafsir al-Qur’an di Masjid Nabawi, asy-Syinqithi menyelesaikan penafsiran seluruh al-Qur’an sebanyak dua kali dan meninggal dunia sebelum menyelesaikan yang ketiga kalinya. Aktifitas ini pada awalnya dijalaninya setiap hari selama satu tahun. Akan tetapi, ketika ia mulai menjadi pengajar di Fakultas Syari’ah dan Bahasa di Riyadh, ia hanya menjalani pengajaran tafsir al-Qur’an di Masjid Nabawi pada liburan musim panas. Ini dijalaninya mulai tahun 1371 H /1951 M dan berlanjut hingga tahun 1381 H/1961 M saat ia menjadi pengajar di Universitas Islam (al-Jami’ah al-Islamiyyah) di Madinah. Dan sejak tahun 1385 H/1965 M ia hanya mengajarkan tafsir al-Qur’an di Masjid Nabawi di bulan Ramadhan. Selain itu, ia juga mengajar tafsir al-Qur’an di Dar al-‘Ulum di Madinah pada tahun 1369-1370 H/1949-1950 M.[8]
Sebagai pengajar di Universitas Islam di Madinah, asy-Syinqithi mengajar mata kuliah tafsir, ushul fikih, dan juga adab al-bahts wa al-munadzarah selama 12 tahun hingga ia meninggal di tahun 1393 H/1973 M.[9]  Keterlibatan asy-Syinqithi dalam pengajaran di Universitas Islam Madinah menjadikannya berperan lebih besar dalam penyebaran keilmuan dengan jaringan yang lebih besar. Hal ini karena mahasiswa di Universitas Islam Madinah tidak hanya terdiri dari mahasiswa Arab Saudi, akan tetapi dari seluruh penjuru dunia. Perluasan jaringan keilmuannya di dunia Islam ini juga semakin terasa saat tahun 1375 H/1955 M ia menjadi utusan Universitas Islam Madinah ke 10 negara Islam mulai dari Sudan hingga tanah kelahirannya, Mauritania selama hampir dua bulan.[10]  
Selama masa hidupnya, asy-Syinqithi telah menghasilkan berbagai karya ilmiah, baik saat ia masih berada di tanah kelahirannya maupun saat ia sudah menetap di Arab Saudi. Di antara karyanya adalah:
  1. Khalish al-Juman yang berisi tentang silsilah atau nasab Arab. Karya ini dihasilkannya saat ia masih remaja.
  2. Rajaz dalam fikih Maliki yang berkaitan dengan bab jual beli, terdiri dari ribuan bait.
  3. Alfiah dalam Ilmu Manthiq.
  4. Nadzm Fara’idh.
  5. Man’ Jawaz al-Majaz fi al-Munazzal li at-Ta’abbud wa al-I’jaz yang berisi tentang pandangannya bahwa majaz tidak boleh diberlakukan dalam ayat-ayat tentang Asma’ wa ash-Shifat.
  6. Adab al-Bahts wa al-Munadzarah. Karya ini dijadikan sebagai buku pegangan perkuliahan dalam mata kuliah yang sama yang diajarkannya di Universitas Islam Madinah.
  7. Daf’ Iham al-Idhthirab ‘an Ayi al-Qur’an yang berisi tentang penyelesaian ayat-ayat al-Qur’an yang nampak saling bertentangan.
  8. Mudzakkirah al-Ushul ‘ala Raudhah an-Nadzir yang berisi penjelasan (syarh) kitab Raudhan an-Nadzir dalam bidang Ushul Fikih. Ia berusaha memadukan Ushul Fikih dalam madzhab Hambali, Maliki dan Syafi’i dalam karya ini. Kitab ini juga menjadi pegangan dalam mata kuliah Ushul Fikih di Fakultas Syari’ah dan Dakwah Universitas Islam Madinah.
  9. Rihlah al-Hajj ila Baitillah al-Haram. Karya ini adalah kumpulan jawaban asy-Syinqithi terhadap berbagai persoalan yang disampaikan padanya selama masa perjalanannya dari Mauritania ke Arab Saudi untuk haji. Persoalan yang disampaikan meliputi tafsir, hadis, fikih, sastra, bahasa, akidah, manthiq, sejarah dan bahkan ilmu alam.
  10. Adhwa’ al-Bayan yang merupakan karya terbesarnya dalam bidang tafsir yang terdiri dari 7 juz. Hanya saja ia baru menyelesaikannya hingga akhir surat Al-Mujadilah. Dan muridnya, Athiyyah Muhammad Salim, menyelesaikan tafsir ini hingga akhir surat an-Nas.
Selain karya-karya tersebut, asy-Syinqithi juga menghasilkan beberapa makalah dalam berbagai bidang, yaitu fikih, tafsir, hadis, akidah, ushul fikih dan juga bahasa. Selain itu, ia juga telah berperan besar dalam menghasilkan para tokoh dan ulama besar di dunia Islam yang perannya masih terasa hingga saat ini.[11]

  1. Mazhab Fikih Pengarang
 Asy-syeikh Muhamad Amin asy-syinqithi lahir dan dibesarkan di negara mauritinia, penduduk setempat bermadzhab maliki. dan di masa beliau menuntut ilmu, beliaupun mempelajari fiqih madzhab maliki dan inilah madzhab yang digunakan di Negara asalnya.[12] Namun setelah syeikh tinggal di madinah dan beliau diberi kitab al-Mughni sebagai landasan madzhab di sana, syeikh pun membacanya berulang-ulang , sehingga akhirnya asy-syeikh diketahui telah bermadzhab hanabilah.[13]

C.      Kitab tafsir Adhwa’ul Bayan
Kitab tafsir Adhwaul Bayan termasuk dalam katagori tafsir bil ma’tsur, Artinya :“Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat  karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’yn karena pada umumnya mereka menerima dari para Sahabat”.
Definisi seperti ini, menurut catatan al-Suyuthi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk ulama’ kontemporer. Al-Zarqani adalah orang yang pertama menyebutkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits atau pendapat shahabat atau tabi’in. Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur adalah kompilasi penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in. Ulama’ yang memahami bahwa tafsir bi al-ma’tsur bukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau hadits atau pendapat sahabat atau tabi’in adalah al-Suyuthi. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi mengatakan bahwa isi dari kitab tafsirnya adalah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi SAW dan para sahabat.[14]
Melalui penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan terutama ayat-ayat hukum yang menjadi fokus dalam tulisan ini, dan juga penjelasan singkatnya atas metode yang dipakainya dalam penafsiran al-Qur’an, dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, asy-Syinqithi menggunakan dua metode pokok, yakni metode literer/naqli (al-manhaj an-naqli) dan metode rasional/‘aqli (al-manhaj al-‘aqli). Metoder naqli yang dimaksud dalam hal ini adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’. Sedangkan metode ‘aqli yang dimaksud dalam hal ini adalah penggunaan metode-metode rasional dalam penafsiran al-Qur’an seperti qiyas, analisis kebahasaan dan ushul fikih.
 Mengenai metode penafsiran naqlinya, ia mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya:
“…. واعلم أن من أهم المقصود بتأليفه أمران: أحدهما بيان القرأن بالقرأن لإجماع العلماء على أن أشرف أنواع التفسير وأجلها تفسير كتاب الله بكتاب الله, إذ لا أحد أعلم بمعنى كلام الله من الله جل وعلا…”[15]

Hal ini menunjukkan bahwa asy-Syinqithi berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Dan ini adalah metode yang juga dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para ulama setelahnya yang dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Hal ini karena terkadang suatu ayat turun di satu tempat secara mujmal, atau muthlaq atau ‘amm, dan ditemukan penjelasannya secara mubayyan, muqayyad dan mukhashshash di tempat yang lain.[16]
Misal dalam hal ini adalah saat asy-Syinqithi membahas pernikahan antara muslim dengan non muslim. Ia menegaskan tentang makna musyrik dan ahl al-kitab dalam surat al-Baqarah: 22 dengan menghadirkan surat al-Ma’idah:5, al-Bayyinah: 1 dan 6, al-Baqarah: 105, dan at-Taubah: 30-31.[17]
Selain itu, asy-Syinqithi juga menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis. Ia mengatakan;
“…واعلم أن مما التزمنا في هذا الكتاب المبارك أنه  إن كانت للأية الكريمة مبين من القرأن غير واف بالمقصود من تمام البيان فإنا نتمم البيان من السنة من حيث إنها تفسير للمبين…”[18]

Asy-Syinqithi terhitung sangat banyak mengutip hadis untuk menguatkan penjelasan atas sebuah ayat, menafsirkannya ataupun menjadikannya sebagai dalil dalam menentukan sebuah hukum. Bahkan sebagian besar dalil yang disampaikan oleh asy-Syinqithi dalam tafsir ayat-ayat hukum adalah hadis. Saat menafsirkan surat al-Baqarah: 229, ia berbicara tentang talak tiga dengan satu lafadz dan mengemukakan pendapat para ulama yang menyatakan keabsahan dan tidaknya, dan perdebatan antara ulama’ tentang masalah tersebut. Dengan panjang lebar, ia membahas masalah ini dengan menyebutkan banyak hadis yang menguatkan kedua pendapat, kemudian mentarjih antar pendapat tersebut dengan menyebutkan kelemahan dan kekuatan masing-masing pendapat.[19]
Selain itu, asy-Syinqithi juga sering mengutip ijma’ dan kesepakatan para ulama atas sebuah permasalahan hukum untuk menguatkan penjelasannya setelah mengutip ayat al-Qur’an atau hadis. Misalnya adalah saat ia membahas masalah kafarah dzihar.[20]
Mengenai metode ‘aqli atau rasional yang dipakai, asy-Syinqithi pada dasarnya bertumpu pada beberapa sumber, antara lain ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah, bahasa, dan penalaran murni. Hanya saja, sumber-sumber ini digunakan untuk menguatkan metode naqli, memperjelas makna yang ada atau digunakan saat tidak ada nash yang jelas dalam masalah yang dibahas.  
Tentang metodenya dalam masalah fiqh, ia mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya tentang tujuannya dalam mengarang tafsir:
“…بيان الأحكام الفقهية في جميع الأيات المبينةبالفتحفي هذا الكتاب, فإننا نبين ما فيها من الأحكام وأدلتها من السنة, وأقوال العلماء في ذلك, ونرجح ما ظهر لنا أنه الراجح بالدليل من غير تعصب لمذهب معين ولا لقول قائل معين, لأننا ننظر إلى ذات القول لا إلى قائله, لأن كل كلام فيه مقبول ومردود إلا كلامه صلى الله عليه وسلم, ومعلوم أن الحق حق ولو كان قائله حقيرا.”[21]

Karena Adhwa’ al-Bayan adalah kitab dalam bidang tafsir, dan bukan dalam bidang fikih, maka tentu saja tidak disusun dengan urutan bab-bab dalam fikih. Asy-Syinqithi berbicara tentang masalah hukum apabila ia melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum (ayat al-ahkam). Hanya saja, saat ia melewati ayat-ayat hukum dan berbicara tentang masalah fikih, ia membuat urutan-urutan pembahasan secara baik dan detil. Saat berbicara tentang masalah dzihar misalnya, ia membuat bab tersendiri tentang dzihar, membagi pembahasannya dalam 17 masalah, dan membagi beberapa masalah yang ada dalam beberapa cabang masalah (far’). Dan itu dilakukannya dalam masalah-masalah yang lain.
Ketika berbicara dalam sebuah masalah yang menimbulkan banyak perbedaan pendapat, asy-Syinqithi selalu menuturkan berbagai pendapat yang ada, menyebutkan dalil-dalil yang dipakai oleh setiap kelompok, dan kemudian melakukan perbandingan antar dalil (munaqasyah al-adillah). Jika perbedaan tidak begitu kuat, ia hanya menyebutkan perbedaan antar ulama dan dalil masing-masing tanpa melakukan perbandingan antar dalil. Dalam menjelaskan perbedaan pendapat, sering sekali ia mengutip pendapat para ulama dan member sedikit komentar atas perbedaan tersebut sekedar menjelaskan kelemahan atau keunggulan satu pendapat atau mentarjih pendapat yang dianggapnya kuat.
Hanya saja, dalam menjelaskan pendapat dalam beberapa madzhab, ia seringkali mendahulukan pendapat Imam Malik. Hal ini menunjukkan bahwa ia memang lebih cenderung pada madzhab Maliki, madzhab yang pernah dianutnya saat ia belum berpindah ke Arab Saudi. Akan tetapi, ia tidak fanatik (ta’ashshub) pada madzhab Maliki. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah saat ia menjelaskan perbedaan ulama tentang makna al-qur’dan masalah khulu’.[22]


D.     Sistematika Tafsirannya
Kitab tafsir yang menakjubkan ini memiliki system penafsiran yang begitu bagus, yaitu;
a.      Menafsirkan ayat secara urutan surat Al-Qur'an. Kita dapat mengamatinya dari penafsiran yang ada dimulai dari surat al-Fatihah kemudian al-Baqoroh kemudian aliimran dan seterusnya.
b.      Tidak menafsirkan setiap ayat yang ada, bahkan tidak menafsirkan Al-Qur'an perkata, namun hanya pada ayat yang memiliki tafsiran pada ayat yang lainnya, atau ayat yang mengandung hukum.
c.       Menjelaskan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, ini telah menjadi ijma’ ulama’ bahwa cara penafsiran yang terbaik adalah menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an . karena tidak ada yang lebih memahami makna kalam-kalam Allah dari Allah yang maha tinggi.
Contoh:
قوله تعالى : { فتلقى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ } .
لم يبين هنا ما هذه الكلمات ، ولكنه بينها في سورة الأعراف بقوله : { قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الخاسرين } [ الأعراف : 23 ] [23].
 Konsisten dengan hanya menafsirkan dengan qiroah sab’ah, tidak mengambil dari qiro’ah syadzah. Dan mungkin kami mencantumkan qiro’at syadzah hanya sebagai saksi dalam qiro’at sab’iah. Qiro’at abi ja’far, ya’qub dan khalaf oleh penafsir tidaklah syadz, bahkan para ahli qiro’atpun  berpendapat demikian.[24]    
d.      Menjelaskan hukum-hukum fiqih pada ayat hukum, dengan menambahkan pendalilan dari sunnah dan perkataan para ulama’, kemudian merojihkan yang Nampak kuat di mata penafsir berdasarkan dalil yang ada tanpa fanatik terhadap aliran madzhab tertentu, tidakk pula memihak pada perkataan tokoh tertentu,  karena setiap perkataan dari siapapun itu bisa diterima (karena benar) dan bisa ditolak (karena salah).  Kecuali perkataannya Rosulullah Shalallahu 'alaihi wa salam. Kebenaran tetaplah kebenaran meskipun yang mengatakannya adalah manusia biasa.[25]
Di bidang fiqih, dalam tafsirannya yang  berkenaan hukum fikih, asy-syeikh menampilkan berbagai pendapat ulama’ yang berbeda-beda, kemudian menyimpulkan pendapat mana yang lebih kuat berdasarkan atas dalil aqli atau naqli[26].
Artinya dalam kitab tafsir ini, sang mufasir tidak semata-mata hanya menggunakan ayat dalam menafsirkan, namun menguatkan hujah dengan sunnah juga.
Misal, dalam menafsirkan qs al-maidah:6 (وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ) mufasir menjelaskan;
في قوله { وَأَرْجُلَكُمْ } ثلاث قراآت : واحدة شاذة ، واثنتان متواترتان .
أما الشاذة : فقراءة الرفع ، وهي قراءة الحسن . وأما المتواترتان : فقراءة النصب ، وقراءة الخفض .
أما النصب : فهو قراءة نافع . وابن عامر ، والكسائي ، وعاصم في رواية حفص من السبعة ، ويعقوب من الثلاثة .
وأما الجر : فهو قراءة ابن كثير ، وحمزة ، وأبي عمرو ، وعاصم ، في رواية أبي بكر .
أما قراءة النصب : فلا إشكال فيها لأن الأرجل فيها معطوفة على الوجوه ، وتقرير المعنى عليها : فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق ، وأرجلكم إلى الكعبين وامسحوا برؤوسكم .
وإنما أدخل مسح الرأس بين المغسولات محافظة على الترتيب ، لأن الرأس يمسح بين المغسولات ، ومن هنا أخذ جماعة من العلماء وجوب الترتيب في أعضاء الوضوء حسبما في الآية الكريمة .
وأما على قراءة الجر : ففي الآية الكريمة إجمال ، وهو أنها يفهم منها الاكتفاء بمسح الرجلين في الوضوء عن الغسل كالرأس ، وهو خلاف الواقع للأحاديث الصحيحة الصريحة في وجوب غسل الرجلين في الوضوء والتوعد بالنار لمن ترك ذلك ، كقوله صلى الله عليه وسلم : « ويل للأعقاب من النار » .
اعلم أولاً أن القراءتين إذا ظهر تعارضهما في آية واحدة لهما حكم الآيتين ، كما هو معروف عند العلماء ، وإذا علمت ذلك فاعلم أن قراءة { وأرْجُلكُمْ } بالنصب صريح في وجوب غسل الرجلين في الوضوء ، فهي تفهم أن قراءة الخفض إنما هي لمجاورة المخفوض مع أنها في الأصل منصوبة بدليل قراءة النصب ، والعرب تخفض الكلمة لمجاورتها للمخفوض ، مع أن إعرابها النصب ، أو الرفع .وما ذكره بعضهم من أن الخفض بالمجاورة معدود من اللحن الذي يتحمل لضرورة الشعر خاصة ، وأنه غير مسموع في العطف ، وأنه لم يجز إلا عند أمن اللبس ، فهو مردود بأن أئمة اللغة العربية صرحوا بجوازه .وممن صرح به الأخفش ، وأبو البقاء ، وغير واحد [27]
e.      Dalam perkara aqidah, beliau menjelaskan secara mantik dan dalil. Metode yang sangat kental sekali adalah bahwa semua Allah sifati untuk dirinya sendiri yang ada dalam Al-Qur'an ini seperti istiwa’, tangan, wajah dan lain sebagainya diantara sifat-sifat Allah. Maka sifat itu adalah sifat yang hakiki bukan majas dengan tetap meninggikan kesucian dzat Allah dari musyabahah dari sifatnya manusia.[28]
قوله تعالى : { ثُمَّ استوى عَلَى العرش يُغْشِي الليل النهار } الآية .
هذه الآية الكريمة وأمثالها من آيات الصفات كقوله { يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ } [ الفتح : 10 ] ونحو ذلك . أشكلت على كثير من الناس إشكالاً ضل بسببه خلق لا يحصى كثرة ، فصار قوم إلى تعطيل وقوم إلى التشبيه - سبحانه وتعالى علواً كبيراً عن ذلك كله - والله جل وعلا أوضح هذا غاية الإيضاح ، ولم يترك فيه أي لبس ولا إشكال ، وحاصل تحرير ذلك أنه جل وعلا بين أن الحق في آيات الصفات متركب من أمرين :
أحدهما : تنزيه الله جل وعلا عن مشابهة الحوادث في صفاتهم سبحانه وتعالى عن ذلك علواً كبيراً .
والثاني : الإيمان بكل ما وصف الله به نفسه في كتابه ، أو وصفه به رسوله صلى الله عليه وسلم . لأنه لا يصف الله اعلم بالله من الله { أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ الله } [ البقرة : 140 ] ، ولا يصف الله بعد الله أعلم بالله من رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي قال فيه : { وَمَا يَنطِقُ عَنِ الهوى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يوحى } [ النجم : 3-4 ] فمن نفى عن الله وصفاً أثبته لنفسه في كتابه العزيز ، أو أثبته له رسوله صلى الله عليه وسلم زاعماً أن ذلك الوصف يلزمه ما لا يليق بالله جل وعلا ، فقد جعل نفسه أعلم من الله ورسوله بما يليق بالله جل وعلا . { سُبْحَانَكَ هذا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ } [ النور : 16 ] .
ومن اعتقد أن وصف الله يشابه صفات الخلق ، فهو مشبه ملحد ضال ، ومن أثبت لله ما أثبته لنفسه أو أثبته له رسوله صلى الله عليه وسلم مع تنزيهه جل وعلا عن مشابهة الخلق ، فهو مؤمن جامع بين الإيمان بصفات الكمال والجلال ، والتنزيه عن مشابهة الخلق ، سالم من ورطة التشبيه والتعطيل ، والآية التي أوضح الله بها هذا . هي قوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السميع البصير } [ الشورى : 11 ] فنفى عن نفسه جل وعلا مماثلة الحوادث بقوله : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ } وأثبت لنفسه صفات الكمال والجلال بقوله : { وَهُوَ السميع البصير } فصرح في هذه الآية الكريمة بنفي المماثلة مع الاتصاف بصفات الكمال والجلال .
والظاهر أن السر في تعبيره بقوله : { وَهُوَ السميع البصير } دون أن يقول مثلاً : وهو العلي العظيم أو نحو ذلك من الصفات الجامعة .
أن السمع والبصر يتصف بهما جميع الحيوانات . فبين أن الله متصف بهما ، ولكن وصفه بهما على أساس نفي المماثلة بين وصفه تعالى ، وبين صفات خلقه . ولذا جاء بقوله : { وَهُوَ السميع البصير } بعد قوله : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ } ففي هذه الآية الكريمة إيضاح للحق في آيات الصفات لا لبس معه ولا شبهة البتة ، وسنوضح إن شاء الله هذه المسألة إيضاحاً تاماً بحسب طاقتنا ، وبالله جل وعلا التوفيق .[29]

f.        Mengeluarkan Hikmah yang terpendam, sebagai mana yang beliau kelurkan atas tasfiran surat al-Fatihah;
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
قوله تعالى : { إِيَّاكَ نَعْبُدُ } .
أشار في هذه الآية الكريمة إلى تحقيق معنى لا إله إلا الله : لأن معناها مركب من أمرين : نفي وإثبات . فالنفي : خلع جميع المعبودات غير الله تعالى في جميع أنواع العبادات ، والإثبات : إفراد رب السموات والأرض وحده بجميع أنواع العبادات على الوجه المشروع . وقد أشار إلى النفي من لا إله إلا الله بتقديم المعمول الذي هو { إِيَّاكَ } . وقد تقرر في الأصول ، في مبحث دليل الخطاب الذي هو مفهوم المخالفة . وفي المعاني في مبحث القصر : أن تقديم المعمول من صيغ الحصر . وأشار إلى الإثبات منها بقوله : { نَعْبُدُ } . وقد بين معناها المشار إليه هنا مفصلاً في آيات أخر كقوله : { يَاأَيُّهَا الناس اعبدوا رَبَّكُمُ الذي خَلَقَكُمْ } [ البقرة : 21 ] الآية - فصرح بالإثبات منها بقوله : { اعبدوا رَبَّكُمُ } وصرح بالنفي منها في آخر الآية الكريمة بقوله : { فَلاَ تَجْعَلُواْ للَّهِ أَندَاداً وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ } [ البقرة : 22 ] وكقوله : { وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت } [ النحل : 36 ] فصرح بالإثبات بقوله : { أَنِ اعبدوا الله } وبالنفي بقوله { واجتنبوا الطاغوت } وكقوله : { فَمَنْ يَكْفُرْ بالطاغوت وَيْؤْمِن بالله فَقَدِ استمسك بالعروة الوثقى } [ البقرة : 256 ] فصرح بالنفي منها بقوله : { فَمَنْ يَكْفُرْ بالطاغوت } [ البقرة : 256 ] وبالإثبات بقوله : { وَيْؤْمِن بالله } [ البقرة : 256 ] وكقوله : { وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَآءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلاَّ الذي فَطَرَنِي } [ الزخرف : 26-27 ] الآية - وكقوله : { وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نوحي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إله إِلاَّ أَنَاْ فاعبدون } [ الأنبياء : 25 ] وقوله : { وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرحمن آلِهَةً يُعْبَدُونَ } [ الزخرف : 45 ] إلى غير ذلك من الآيات .
قوله تعالى : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .
أي لا نطلب العون إلا منك وحدك . لأن الأمر كله بيدك وحدك لا يملك أحد منه معك مثقال ذرة . وإتيانه بقوله : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } بعد قوله : { إِيَّاكَ نَعْبُدُ } ، فيه إشارة إلى أنه لا ينبغي أن يتوكل إلا على من يستحق العبادة . لأن غيره ليس بيده الأمر . وهذا المعنى المشار إليه هنا جاء مبيناً واضحاً في آيات أخر كقوله : { فاعبده وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ } [ هود : 123 ] الآية - وقوله : { فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ الله لا إله إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ } [ التوبة : 129 ] الآية - وقوله : { رَّبُّ المشرق والمغرب لاَ إله إِلاَّ هُوَ فاتخذه وَكِيلاً } [ المزمل : 9 ] وقوله : { قُلْ هُوَ الرحمن آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا } [ الملك : 29 ] إلى غير ذلك من الآيات

Ini sejalan dengan pemahaman para ulama’ aqidah, bahwa kalimat la ilaha illallah memiliki 2 rukun dasar, yaitu; - an-nafyu (peniadaan) artinya meniadakan atau menolak semua sesembahan selain daripada Allah, ini ditunjukan dengan ungkapan (لا إله). – al-itsbat (penetapan) artinya menetapkan hak ketuhanan hanya bagi Allah. Ini ditunjukkan dengan ungkapan (إلا الله).[30]
E. Kelebihan Kitab Tafsir Adhwa’ul Bayan
Diantaranya Kelebihan kitab tafsir ini :
  1. Menjelaskan makna ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an (Qur’an bil Qur’an). Hal ini sesuai dengan kesepakan para ulama yang menyebutkan bahwa tafsir yang paling mulia dan utama adalah menafsirkan ayat-ayat Kitabullah dengan menggunakan (ayat-ayat lainnya) Kitabullah. Sebab, tidak ada seorangpun yang lebih tahu makna Kalamullah kecuali kecuali Allah Azza wa Jalla sendiri. Dalam kitab ini penulis berkomitmen untuk menjelaskan Al Qur’an kecuali dengan menggunakan qiroah sab’ah (7 cara membaca Al Qur’an).
  2. Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam semua ayat yang dijelaskan dalam kitab ini yang disandarkan kepada dalil-dalil shahih dari Sunnah Nabwiyyah dan pendapat para ulama , kemudian dipilihkan  pendapat yang terkuat tersebut tanpa rasa  fanatik madzab.
  3. Dilengkapi  penjelasan tambahan. seperti contohnya pembahasan tentang beberapa masalah kebahasaan (Lughah) dan hal-hal yang diperlukannya seperti sharaf (pembahasan tentang perubahan suatu kata) dan I’raab ( pembahasan tentang kedudukan kata dalam suatu kalimat), penyebutan syair-syair arab sebagai penguat serta analisis terhadap masalah-maslah yang dibutuhkan dalam menafsirkan sebuah ayat seperti masalah ushuliyah (yang pokok) dan Kalam (akidah) yang dilandasi sanad-sanad hadits.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Model tafsir dan penafsiran beranekaragam, ada tafsiran dengan metode bil ma’tsur dan ada bir ro’yi
Karya tafsir buah asy-syeikh syinqithi  adhwa’ul bayan adalah kitab tafsir bil ma’tsur
Di dalam kitab tafsirnya, pengarang menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, menjelaskan kandungan hukum dengan dalil sunnah, ijma’, bahasa bahkan dengan mantiq.
Penggunaan ilmu mantik dalam penafsiran adalah untuk membentengi aqidah islam dari penyimpangan



DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Amin asy-syinqithi, Adhwa’ul Bayan fii idhohil Qur’an bil qur’an, Kairo : maktabah ibnu taimiyah, 1995.
‘Athiyyah Muhammad Salim, Tarjamah asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dalam Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’ al-Bayan, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996)
Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Rihlah al-Hajj ila Baitillah al-Haram, (Jeddah: Dar asy-Syuruq, 1983)
Abdurrahman as-Sudais, Tarjamah asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1411 H)
Abdul Aziz ath-Thauyan, Juhud asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi fi Taqrir ‘Aqidah as-Salaf, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1998)
Abdullah ath-Thayyar, Mansak al-Imam asy-Syinqithi, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1996 H),
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (t.t.t: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, t.t)
Abdullah bin Abdul Aziz Jibrin, tadzhib tashil al-aqidah al-islamiyah, Riyadh : matbaah safir.1425 H.
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 2011



[1] At-Tafsir wal mufasirun, Adz-Dzahabi halaman 31
[2]  Ibid, halaman 76
[3] Tarjamah asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dalam Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’ al-Bayan juz 10  halaman 274,
[4]  ibid
[5] Adhwaul bayan, jilid 1 halaman ب
[6]  Ibid. Halaman 284
[7]  Abdurrahman as-Sudais, Tarjamah asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, halaman 178.
[8]  Athiyah Muhammad Salim, Tarjamah, X/286, Abdurrahman as-Sudais, Tarjamah, hlm. 69.
[9]  Ibid.
[10] Ibid.
[11]  Abdul Aziz ath-Thauyan, Juhud asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi fi Taqrir ‘Aqidah as-Salaf, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1998), hlm. I/72-76,
[12]  Adhwaul bayan, jilid 1 halaman غ
[13] Adhwaul bayan, jilid 1 halaman ل
[14]  Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 154-155.
[15]  Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’, juz I/7.
[16] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (t.t.t: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, t.t), hlm. 335.
[17]  Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’, juz I/116
[18]  Lihat Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’, juz I/23
[19]  Ibid., juz I/129-139.
[20]  Ibid ., juz 6/362-363.
[21]  ibid., juz 1/7
[22]  ibid., juz I/121, 164.
[23] Maktabah syamilah, tafsir adhwa’ul bayan surat al-Baqoroh: 37
[24] Adhwaul bayan, jilid 1 halaman 3
[25] Adhwaul bayan, jilid 1 halaman 4
[26] Adhwaul bayan, jilid 1 halaman ن
[27]  Adhwaul bayan, tafsir surat al-maidah ayat 6
[28]  Adhwaul bayan, jilid 1 halaman 16
[29]  Adhwaul bayan, tafsir surat asy-syuro ayat 11
[30] Tahdzib tashil al-aqidah al-islamiyah, halaman 32

No comments:

Post a Comment