Pages - Menu

Laman

Laman

Tuesday, 19 May 2015

MAKALAH STUDY HADITS-PASCASARJANA-"MUSNAD AHMAD BIN HANBAL"

MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
MAKALAH
Disusun Sebagai Bahan Diskusi Pada Mata Kuliah
Studi Hadits
Dosen Pembimbing : Dr. Malik Ghazali, MA

Penyusun: Wawang Julianto

MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu hal yang unik dalam penyusunan hadits adalah diantara para uama’ hadits ada yang tidak menggunakan metode klasifikasi hadits, melainkan berdasarkan nama para sahabat nabi Shalallahu 'alaihi wa salam,, yang meriwayatkan hadits itu. Metode ini disebut musnad. Sehingga orang yang merujuk kepada kitab musnad dan ia mau mencari hadits yang berkaitan dengan bab shalat misalnya, ia tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sebab dalam kitab musnad tidak akan ditemukan bab shalat, zakat dan sebagainya, yang ada hanyalah bab tentang nama-nama sahabat nabi berikut hadits-hadits yang diriwayatkan mereka.
Jumlah kitab musnad ini banyak sekali, menurut suatu sumber lebih dari seratus buah. Namun hanya beberapa buah saja yang popular, misalnya kitab al-musnad karya al-humaidi (219 H), kitab al-musnad karya Abu Daud at-thoyalisi (204 H), kitab al-musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) dan kitab musnad karya abu ya’la al-maushili (307 H).[1]
Musnad al-Kabir atau lebih dikenal sebagai Musnad Ahmad adalah salah satu dari Sembilan Kitab hadits yang dijadikan rujukan utama umat Islam kebanyakan, terutama dari golongan Ahlus Sunnah. Kitab ini disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yaitu Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad Adz-Dzuhli asy-Syaibani (164 H - 241 H). Seorang Syaikhul Islam, al-Imam, al-Hafizh, al-Hujjah, Pemimpin Umat Islam pada masanya. Musnad ini terbagi menjadi beberapa musnad besar yang terdiri dari beberapa musnad sahabat atau hadits sahabat. Musnad sahabat atau hadits sahabat ini kemudian memuat beberapa hadits. Di antara kutubuttis'ah, kitab ini merupakan kitab dengan jumlah hadits terbanyak.[2]
Kitab ini memuat hadis sahih, hasan dan da’if, bahkan di dalamnya terdapat pula beberapa hadis maudhu’, meskipun hanya sedikit, tidak seperti pengakuan sebagian orang yang menyangka tiada hadis maudlu’ di dalam kitab ini.
Kitab ini merupakan salah satu kodifikasi hadis yang sangat diperlukan, oleh ummat Islam. Penyusun memulai kitabnya dengan musnadnya 10 orang shahabat yang telah dijanjikan sorga, didahulukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, kemudian shahabat yang lainnya yang termasuk sepuluh itu. Kemudian disebutkan hadis Abdurrahman bin Abu Bakar, kemudian tiga hadis dari tiga orang shahabat, kemudian musnad ahlul Bait,dia menyebutkan hadis-hadis mereka, demikian seterusnya sampai tuntas dengan hadis Syidad bin al-Had ra .

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Imam Ahmad Bin Hanbal
a.       Nasab
Namanya Al-Imam abu abdillah ahmad bin muhamad bin hanbal bin hilal bin asad bin idris bin Abdullah bin anas bin auf bin qosith bin mazin bin syaiban bin dzuhl bin tsa’labah bin ukabah bin bin sha’b bin ali bin bakr bin wail bin qosith bin hinb bin afsha bin du’mi bin jadilah bin asad bin robi’a bin nizar bin ma’ad bin adnan.
Beliau dikandung ibunya di marwa, dan kemudian ibunya pindah ke bagdad dalam keadaan hamil, akhirnya melahirkan imam ahmad di sana pada bulan rabi’ul awal tahun 164 H. dan besar di sana. Beliau wafat  pada tahun 241 H.
Ayahnya adalah seorang wali di sarkhas di masa kekuasaan bani abasiyah, yang wafat pada tahun 179 H. imam ahmadpun diasuh oleh ibunya sematawayang.[3]  
b.      Perjalanan Ilmiah
Al-imam talah melakukan berbagai perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke negeri-negeri yang banyak, diantaranya; bashrah, kufah, hijaz, yaman, syam, tsugur, sawahil, magrib, aljazair,Persia, khurasan dll. Kemudian beliau pun kembali kenegeri asalnya yaitu bashrah.   Yang dengannya Allah menolong agama-Nya, dan beliaupun menjadi symbol imam-imam umat islam.
Beliau telah memulai langkah mencari hadits pertama kali di umur 16 th, beliau menuju kufah di tahun meninggalnya Hasyim bin Basyir tahun 183 H. pergi  menuju basrah tahun 186 H. menuju guru beiau Sufyan bin ‘uyainah di Makkah tahun 187 H. di tahun wafatnya fudhai bin iyadh, ini adalah pertamakalinya beliau melaksanakan ibadah haji. Kemudian dilanjutkan menuju Abdurazah di San’a Yaman tahun 197 H. dengan ditemani oleh yahya bin ma’in. yahya menceritakan ;”ketika kami pergi menuju abdurrazak ke negeri yaman, kami menunaikan ibadah haji dahulu, ketika kami sedang melaksanakan tawaf, kami menjumpai abdurrazak juga sedang melakukan tawaf, maka aku menyalaminya, dan aku katakana kepadanya; ‘ini adalah ahmad bin hanbal saudara engkau’ . beliau menjawab: semoga panjang umur dan teguh pendirian …. Berita  tentang kebagusannya telah sampai kepada ku”.  Kemudian aku berkata kepada imam ahmad :’sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, kita telah banyak menghabiskan perbekalan dan telah menempuh waktu sebulanan” , beliau menjawab :”niatku  dari bagdad adalah mendengar darinya (hadits) di san’a, demi Allah tidak akan berubah niatku “. Kamipun melanjutkan ke san’a, perbekalanpun habis. Maka abdurrazak menawarkan kepada kami kepingan dirham yang banyak namun imam tidak mau menerimanya. Maka berkata (abdurrazak); sebagai utangan” , beliaupun menolaknya. Akhirnya beliau bekerja sebagai pemerah susu, dan  beliau makan dari endapan lemak-lemaknya.[4]
c.       Guru-gurunya
Imam ahmad memiliki guru yang sangat banyak, diantara guru-gurunya yang terkenal yaitu; ismail bin Ibrahim bin ulaiyah al bashri (w 193 H),abu daud at tayalisi (w 204 H), sufyan bin uyainah (w 198 H), al imam ahmad bin idris as-syafi’I (204 H), Abdurrahman bin mahdi (w 198 H),abdurrazak as-shan’ani (w 211 H), hasyim bin basyir (w 183 H) , waki’ bin jarrah (w 197 H), yahya bin sa’id al qathan (w 198 H), bisyr bin al mufadhal (w 187 H), jarir bin abdul hamid (w 188 H), Abdullah bin namir (w 199 H), yahya bin ayas al hamshi (w 219 H), ghundar (194 H), muktamar bin sulaiman (w 187 H) dan qutaibah bin sa’id (w 240 H).  [5]
d.      Murid-muridnya
Imam ahmad pun telah mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya yang banyak, diantara murid beliau yang terkenal adalah; Ibrahim al harbi ( w 285 H),  imam bukhari (w 256 H), abu hatim ar razi (w 277 H), abu daud as sajastani ( w 275 H), abu zur’Allah ar razi (w 264 H), petra beliau Abdullah (w 290 H) dan shalih (w 265 H), imam muslim (w 261 H), anak paman beliau hanbal bin ishaq (w 273 H), yahya bin ma’in (w 233 H), ali bin al madini (w 234 H) dll.[6]
e.       Komentar ulama’
Abdurrazak as shan’ani berkata ; “telah mendatangiku 4 orang dari Iraq (mencari hadits) diantara pembesar hadits; as syadzakuni ia adalah yang paling baik hafalannya,  ibnu al madini ia adalah yang paling tahu perselisihan hadits, yahya bin ma’in ia adalah yang paling tahu tentang rijal hadits, dan ahmad bin hanbal ia adalah yang paling menguasai semuanya”.
Qutaibah bin sa’id berkata  : “ kalaulah ahmad bin hanbal sezaman dengan as tsuri, malik, auza’I dan al laits bin sa’d tentulah dia yang lebih utama”.
Ar-Rabi’ bin sulaiman berkata: imam syafi’I berkata kepada kami; “ahmad bin  hanbal menghimpun 8 sifat; imam dalam hadits, imam fiqih, imam bahasa, imam al-qur’an, imam dalam kefakiran, imam zuhud, imam wara’ dan imam sunnah”.[7]
f.       Karya-karyanya
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama’ yang produktif dalam mentransfer keilmuannya, itu terlihat dari banyaknya karya tulis yang telah beliau susun, diantaranya adalah;
-          Al-Musnad
-          At-Tafsir
-          Kitab as-sunnah
-          Kitab az-zuhud
-          Kitabu as-shalah
-          Kitab wara’ wal iman
-          ‘Ilalul hadits
-          FadhailU Shahabah
-          Dll.[8]

B.     Kitab Hadits Musnad

a.       Makna musnad
Musnad artinya yang disandarkan.Jadi kalau dikatakan sanad berarti rangkaian para perawi dari mukhorrij atau mudawwin paling akhir sampai rowi yang pertama langsung menerima dari Rosulullah SAW.
Sebuah kitab hadit disebut musnad, sebagaimana dituturkan oleh Mahmud Thahan dalam bukunya Taisir Mushthalahul Hadits;  ‘ setiap kitab yang menghimpun periwayatan setiap sahabat tanpa memandang judul / tema yang terkait dengan hadits tersebut’.[9]
Dan pengertiannya dalam istilah ahli hadits, musnad adalah sesuatu yang dikarang berdasrkan nama-nama sahabat ra dan di dalamnya menghimpun semua periwayatan para sahabat.[10]
Hadits yang terkandung dalam kitab musnad ini juga hadits yang dhaif bahkan maudhu’, seperti hadits-hadits tentang keutamaan kota marwa dan asqolan.[11]
Merujuk masa hidup Imam Ahmad yang berkisar antara 164 H – 241 H, maka dapat dikatakan bahwa beliau hidup pada fase perkembangan hadis memasuki periode keempat dan kelima, yakni pada abad II dan III H.
Pada awal abad III H para ulama melakukan tadwin al-hadis dengan memisahkan antara sabda Nabi dengan fatwa sahabat dan tabi'in, meski masih mencampur antara hadis-hadis yang berkualitas shahih, hasan, dan dha'if. Di antara sistem tadwin (penyusunan) yang digunakan adalah tashnid, yakni menyusun hadis dalam kitab-kitab berdasarkan nama sahabat prawi hadis. Sedang dalam menertibkan nama sahabat ada yang menertibkan menurut tertib kabilah, ada yang menurut  masa memeluk agama Islm, dan ada pula yang tidak memperhatikan sistematika ini. Sistem tashnid atau musnad ini kelemahannya adalah sulit dalam mencari atau mengerti hukum-hukum syara' sebab hadis-hadisnya tidak dikumpul dalam satu tema.[12]
Kitab ini menghimpun dan melengkapi kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya dan merupakan satu kitab yang yang dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin dalam dalam hal agama dan dunia pada masanya. Seperti halnya ulama-ulama  abad ketiga semasanya, Imam Ahmad Bin Hambal menyusun kitab haditsnya secara musnad. Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnadnya tersebut  tidak semua diriwayatkan olehnya, akan tetapi sebagiannya merupakan tambahan dari putranya  Abdullah dan juga Abu Bakar Al-qat’i. 

b.      Metode Penyusunannya
Al-Imaam Ahmad rahimahullah menyusun kitab Al-Musnad berdasarkan tartiib hadits :
1     Sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga.
2.     ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, Zaid bin Khaarijah, Al-Haarits bin Khazamah, dan Sa’d bin Maulaa Abi Bakr.
3.     Musnad Ahlul-Bait.
4.     Musnad dari banyak shahabat, di antaranya : Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’iid Al-Khudriy, Jaabir, Anas, Ibnu ‘Amru bin Al-‘Aash, dan yang lainnya.
5.    Musnad sahabat yang berasal dari Bani Hasyim
6.     Musnad penduduk Makkah (Makiyyiin)
7.     Musnad penduduk Madiinah (Madaniyyiin).
8.     Musnad penduduk Syaam (Syaamiyyiin).
9.     Musnad penduduk Kuufah (Kuufiyyiin).
10.     Musnad penduduk Bashrah (bashriyyiin).
11.   Musnad Al-Anshaar.
12.   Musnad ‘Aaisyah dan para shahabiyyaat.
13.   Kabilah-kabilah yang lain.[13]


c.       Jumlahnya
 Musnad Ahmad Bin Hambal memuat 40.000 hadis dan 10.000 diantaranya dengan berulang serta tambahan dari putranya Abdullah dan Abu Bakar Al-qat’i kurang lebih 10.000 hadis.

d.      Periwayatannya
Dalam periwayatan musnad mungkin kita dapat membaginya sebagai berikut;
1.      Bagian yang yang diriwayatkan Abdullah dari Imam Ahmad dari bapaknya secara siama’I, inilah yang dinamakan musnad imam Ahmad, dan ini isi dominan kitab musnad.
2.      Bagian yang Abdullah mendengarnya dari bapaknya dan selainnya, yang seperti ini sedikit jumlahnya.
3.      Bagian yang Abdullah riwayatkan dari selain jalur bapaknya, ini yang dikenal dengan sebutan tambahan dari Abdullah.
4.      Bagian yang Abdullah bacakan atas bapaknya dan belum mendengarnya, jumlahnya sedikit.
5.      Bagian yang tidak dibacakan dan tidak didengarnya, namun ia dapatkan dari kitab bapaknya dengan tulisan tangan bapanya sendiri, ini pun sedikit.
6.      Bagian yang diriwayatkan al-hafidz abu bakr al-qothi’I bukan dari jalur Abdullah dan bapaknya, ini yang paling sedikit.[14]

C.     Penilaian Ulama’
Secara umum terdapat tiga penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis dalam kitab hadis Musnad Ahmad Bin Hambal antara lain :
a) Seluruh hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal dapat dijadikan sebagai Hujjah.
b) dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan maudhu’.
c) dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih dan dhaif dan mendekati hasan.  Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Zahadi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Taimiyah dan Assuyuti.[15]
Pernah sekali waktu Syaikh Imam Hafidz Ali bin al-Hafidz al-Faqih Muhammad al-Yunaini ditanya,”Apakah Syaikh hafal Kutub al-Sittah? Syaikh menjawab,”Saya menghafalnya dan tidak menghafalnya.” Sang penanya tidak mengerti,”Mengapa bisa begitu Syaikh? Sang Syaikh menjelaskan,”Saya hafal Musnad Ahmad, dan hadis-hadis yang ada dalam Kutub al-Sittah tak ada yang terlewatkan dalam Musnad Ahmad kecuali hanya sedikit. Kalau begitu, bukankah berarti saya hafal Kutub al-Sittah?
Ibnu al-Jauziy yang menyebutkan ada 29 hadits di dalam kitab mauhu’nya yang  bersumber dari musnad Ahmad. Kemudian al-Iraqiy menambahkan lagi 9 hadis dari musnad Ahmad ini yang dianggapnya maudhu’ dan menolak pendapat bahwa Imam Ahmad memberikan syarat shahih dalam musnadnya.
Di antara hadis dha'if yang terdapat dalam kitab Musnad bin Hanbal adalah masalah boleh tidaknya perempuan mengimami laki-laki atau menjadi khatib Jum’at.
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَدَّتِي عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَتْ قَدْ جَمَعَتْ الْقُرْآنَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ وَكَانَتْ تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا
Dari Abu Nu’ayim dari al-Walid, dari nenekku, dari Ummu Waraqah binti Abdillah ibn al-Hrtis al-Anshari, seorang wanita yang banyak menghafal al-Qur’an. Nabi saw pernah memerintahkan beliau untuk mengimami keluarga serumahnya, beliau mempunyai seorang “mu’azzin” dan beliau mengimami keluarganya.[16]

D.    Sikap Ahmad bin Hanbal terhadap Hadis
Ahmad bin Hanbal termasuk salah seorang tokoh hadis yang tidak canggung mengamalkan hadis yang bersanad dha'if sekalipun sepanjang tidak ada indikasi maudhu'. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w. 597 H), sikap penerimaan Imam Ahmad terhadap hadis dha'if sanadnya tidak sampai menjangkau hadis munkar, bukan pula riwayat orang yang diduga pendusta.[17] Sikap kecenderungan ini berdasar pada pengakuannya bahwa kalam nubuwwah (pemegang mandat risalah) sangat potensial dan lebih terjamin validitas konsep doktrinalnya bila dibandingkan dengan yang dihasilkan nalar rasio misal seperti penerapan qiyas yang cenderung spekulatif. Imam Ahmad sendiri secara tegas menyatakan:
ضعيف الحديث أحب إلبنا من الرأي و ضعيف الحديث أقوى من الرأي
Hadis berkualitas dha'if [pada segi sanadnya] lebih aku sukai dan lebih kuat statusnya daripada ra'yu.[18]
Prinsip ini tidak hanya membentuk pribadi Ahmad bin Hanbal di bidang hadis, bahkan dalam bidang politik pun beliau lebih rela mendekam di penjara dengan perlakuan sangat tidak manusiawi daripada harus menerima ra'yu Khalifah al-Mu'tasim untuk mengakui keber-makhluk-an al-Qur'an.[19]

E.     Kedudukan Kitab Musnad
Kitab musnad tidak terhimpun dalam kutubus sittah yang disepakati sebagai urutan kitab hadits terbaik dalam penghimpunan hadits secara kualitasnya.
Diantara penyebab tidak masuknya musnad ke dalam kutubus sittah adalah;
1.      Adanya hadits-hadits dhaif dengan jumlah yang tidak sedikit, bahkan dalam tataran hadits maudhu’
2.      Terhimpunya hadits-hadits zaidah yang cukup banyak yang tidak dikeluarkan oleh Imam Ahmad, tapi diriwayatkan oleh anaknya yaitu Abdullah
3.      Beberapa metode perawiyan yang mengurangi derajat ketsiqahan yaitu dengan qira’a, menukil hadits / tulisan bapaknya.

Namun meskipun tidak masuk dalam katagori kutubus sittah, tetap hadits-hadits yang derajatnya shahih lebih dominan. Hal tersebut tidak berarti kemudian menyebabkan meninggalkan kitab musnad.




BAB III
PENUTUP

Musnad adalah kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat, lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun, dengan mengesampingkan tema hadis.
Kitab ini memuat hadis sahih, hasan dan da’if, bahkan di dalamnya terdapat pula beberapa hadis maudlu’, meskipun hanya sedikit, tidak seperti pengakuan sebagian orang yang menyangka tiada hadis maudlu’ di dalam kitab ini.
Meskipun kitab ini dipandang memiliki kekurangan, karena sulitnya untuk mencari materi pembahasan tertentu, namaun terkandung juga manfaat dengan mudahnya kita mengetahui periwayatan dari sahabat, dengan kata lain kita jadi tahu bahwa sahabat-sahabat yang dekat dengan Rosulullah yang selama ini kita tidak atau jarang menjumpainya, di sini kita jadi tahu periwayatan mereka radhialaahu ‘anhum.




DAFTAR   PUSTAKA

Ali Mustafa Yaqub, kritik hadis,(2011),pustaka firdaus. Jakarta
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, musnad ahmad bin hanbal,(1993),maktabah islamiyah, bairut
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bhakti Press, 1997).
Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul Hadits, iskandariah:1415 H, Markaz Huda lidirosat
Ibnu Katsir, iktishar ulumul hadits, Riyadh.(2013).darul maiman
M. Abu Zahrah, Fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Kairo: maktabah al-Madani, 1971)
Muhammad 'Awwamah, Atsar al-Hadis al-Syarif, (Jeddah: Dar al-Qiblah, 1940).
W.M. Patton,  Ahmad ibn Hanbal and the Mihnah, Leiden, Brill, 1897.
Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis (Yogyakarta: Insan Madani, 2008).



[1]   Ali Mustafa Yaqub, kritik hadis, hal 77
[2]     http://id.wikipedia.org/wiki/Musnad_Ahmad
[3] Imam ahmad bin hanbal, musnad imam ahmad bin hanbal, hal 7
[4]    Ibid, hal 8
[5]    Ibid, hal 8
[6]   Ibid, hal 9
[7]   Ibid, hal 10
[8]   Ibid, hal 14
[9]   Mahmud Thahan, taisir mushthalahul hadits, iskandariah:1415 H, Markaz Huda lidirosat, halaman 131
[10]   Imam Ahmad, Musnad Ahmad, halaman 15
[11]  Ibnu Katsir, iktishar ulumul hadits, Riyadh.(2013).darul maiman, halaman 103
[12]   Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bhakti Press, 1997), hlm. 63.

[13]   Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 146
[14]   Imam Ahnmad, musnad, halaman 17
[15]   Subhi al Shalih, Op.Cit,.h.116
[16]   Imam Ahnmad, musnad, halaman 321
[17]   M. Abu Zahrah, Fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Kairo: maktabah al-Madani, 1971), II: 357.
[18]   Muhammad 'Awwamah, Atsar al-Hadis al-Syarif, (Jeddah: Dar al-Qiblah, 1940), hlm. 27.
[19]   W.M. Patton,  Ahmad ibn Hanbal and the Mihnah, Leiden, Brill, 1897, hlm. 171.

No comments:

Post a Comment